Boleh Ibadah dengan Mukena atau Pakai Sarung dan Peci

Berita Utama
17 Februari 2010
Pondok Pesantren Senin-Kamis Khusus Waria (2-Habis)
Boleh Ibadah dengan Mukena atau Pakai Sarung dan Peci
STATUS waria ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kaum waria tidak bisa menolak kenyataan tubuhnya yang maskulin ditakdirkan memiliki jiwa yang feminin. Di sisi lain, keinginan untuk beribadah pun menjadi dilematis karena tampaknya banyak golongan yang menentang lantaran status mereka tidak jelas, pria atau wanita.

Tetapi siapa yang mau dilahirkan dalam kondisi seperti itu? Bukankah Tuhan pula yang menciptakan mereka? Keyakinan bahwa kaum waria adalah umat Tuhan itulah yang membuat Mariyani (50), pengelola Ponpes Senin-Kamis Khusus Waria, yakin bahwa apa yang dilakukannya diterima Yang Maha Kuasa.

“Kalau Tuhan tidak menerima ibadah saya, kenapa saya diberi keterampilan, diberi rezeki. Kalau saya tidak diterima Tuhan, saya mungkin sudah mati,” ungkap Mariyani.

Takdir kodrati sebagai perempuan itu memang dibuktikan Mariyani. Ia mengadopsi anak perempuan yang diberi nama Rizki Ariyani, saat ini berusia 9 tahun. “Sejak umur satu jam sampai sebesar ini saya besarkan dia sendiri. Apakah Mas sanggup?” tanyanya.

Mariyani pun tidak tiba-tiba-menjadi waria yang tekun beribadah. Proses sosial yang panjang telah mengantarkannya menjadi pelopor waria religius. Waria yang tertarik pun tidak terbatas di Yogyakarta, tetapi juga dari Jakarta, Solo, Surabaya, dan Madiun. “Semua yang dilakukan waria pernah saya lakukan. Dari keluar malam, punya pasangan pria, mengamen, sebelum saya diberi rezeki dari tata rias,” ucap waria berperawakan tinggi besar ini.

Para waria yang diajak pengajian pun masih ada yang keluar malam (baca: menjajakan diri). Tetapi Mariyani yang telah melewati masa-masa itu lebih dari 10 tahun tidak serta-merta melarangnya. “Mau beribadah saja sudah kemajuan. Saya tidak memaksa karena saya memang belum sanggup menanggung kehidupan mereka,” jelasnya.

Dalam kegiatan pengajiannya, Mariyani merogoh koceknya sendiri. Ia tidak mau meminta bantuan, karena takut niatnya mendirikan pondok pesantren khusus waria dianggap hanya untuk mencari uang. Menurut dia, tidak gampang menarik para waria untuk belajar agama, apalagi dengan sistem pesantren, yang mengharuskan santri menginap di ponpes. Karena itu, Ponpes Khusus Waria Senin-Kamis hanya menyelenggarakan kegiatan pada hari Minggu petang hingga Senin malam. Hal itu untuk menyesuaikan dengan kesibukan dan keinginan para santri  yang berasal dari beragam profesi. Ada yang pekerja salon, pengamen atau ëípekerja malamíí.

Usaha yang dilandasi ketulusan itu sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Setidaknya dua peserta pengajian yang semula masih keluar malam, kini sudah bekerja di salon. Isi pengajian cukup sederhana. Dimulai pukul 17.00, diawali dengan pembacaan shalawat nariyah bersama-sama. Setelah itu shalat maghrib berjamaah, dilanjutkan pembacaan surat Al Fatihah 100 kali hingga shalat isya. Usai shalat, mereka belajar berdoa, dari surat-surat pendek sampai doa untuk aktivitas sehari-hari, diteruskan rehat makan malam pada pukul 21.00.

Selesai makan malam, ibadah diteruskan dengan jamaah shalat hajat dilanjutkan ceramah dari ustadz dengan beragam tema. Ceramah diselingi tanya jawab, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun soal kehidupan sehari-hari. Suasana berlangsung akrab dan menyentuh. Usai kegiatan itu, sekitar pukul 03.00 mereka melaksanakan shalat tahajud. Lepas itu barulah beristirahat.

”Malamnya, kami wirid, lalu baca doa kesehatan, mohon rezeki, sampai tahajud. Tidur sebentar, disambung lagi shalat fajar jam 03.30, kemudian shalat subuh,” kata Mariyani seraya mengajak ke ruang berukuran 3 x5 meter bercat oranye yang menjadi tempat pengajian.

Dia kemudian menunjukkan kamar tidur sederhana yang disediakan untuk rekan-rekannya yang menginap. “Kalau ada teman-teman dari luar kota biasanya tidur di kamar ini,” ujarnya.

Soal pelaksanaan ibadah, dengan sangat toleran Mariyani memberikan kebebasan pada waria untuk memilih peranti sesuai kehendaknya sendiri. “Saya sediakan sarung dan peci, juga mukena. Saya bebaskan mereka mau ibadah sebagai pria atau wanita. Sarung silakan, mau pakai mukena juga boleh. Yang penting kami bisa sembahyang. Soal diterima atau tidak, hanya Allah yang mengetahui,” katanya mantap.

Betapa bijak Mariyani menyikapi kaum minoritas yang kembali mencari identitas ini. Karena kearifan semacam ini tidak hanya berhenti sampai masalah ibadah saja. Jika ada waria yang memutuskan kembali untuk menjadi laki-laki, dan ingin menikah, Mariyani tidak menolak.  “Pilih perempuan yang benar, dan jangan dandan lagi kalau sudah menikah, karena kamu sudah memutuskan untuk jadi laki-laki,” kata Mariyani menyebut nasihat pada rekannya yang memilih menjadi pria dan menikah.

Bahkan jika suatu saat para waria itu meninggal, ia juga telah memberi pengertian pada  mereka. “Pilihan untuk dishalatkan secara laki-laki atau perempuan juga saya serahkan ke mereka. Tetapi untuk saya pribadi, selama masih hidup saya adalah perempuan, andaikan saya mati terserah mau dishalatkan dengan cara apa. Saya pasrah,” ucapnya.
Semula banyak rekannya tidak paham sembahyang. Para ustadz sabar mengajari. Mulai dari wudlu sampai bacaan-bacaan doa. ìSaya baru berhenti kalau Allah memanggil saya. Senang sekali pak kiai dan para ustadz mendukung. Inilah yang bisa saya lakukan semampu saya. Kepada kawan-kawan, saya tidak minta apa-apa. Soal dana, saya sendiri yang coba mengatasinya. Syukurlah, ada saja yang bersedia menyumbang,” kata Mariyani yang penghasilannya ditopang dari membuka salon.
Pro-kontra

Di sisi lain, kegiatan ponpes itu mengundang polemik. Banyak yang mendukung, tapi ada pula yang mencurigai. Yang kontra menilai kegiatan itu menodai agama karena menjalankan ibadah dengan tidak semestinya. Ini karena Islam membedakan tata cara ibadah bagi pria dan wanita dan sudah menjadi ketentuan baku dari Allah.

Namun MUI Yogyakarta bijak dalam menyikapi pesantren waria ini. Kegiatan ponpes dinilai positif. Setidaknya ada niat baik yang tumbuh dari para waria untuk mendekatkan diri pada Allah.

Sorotan itu bukan hanya ditujukan kepada Mariyani. KH Hamrolie juga menjadi sosok yang disorot, karena berada di balik pendirian ponpes. Namun ia tidak pernah takut atau gelisah dengan keputusannya untuk mendukung berdirinya Ponpes Khusus Waria Senin-Kamis.

“Sebagai waria, mereka punya niat baik untuk beribadah, tetapi tidak ada yang mau menerima. Yang juga membuat saya terharu dan agak bersalah, mereka mendatangi kami. Bukankah seharusnya kewajiban kita untuk merangkul mereka?” ujar kiai yang pernah menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Undip itu.

Hamrolie memang telah terbiasa menerima golongan kaum minoritas seperti itu. Ia berkeyakinan, restunya pada Ponpes Khusus Waria Senin Kamis itu bukan jalan yang salah, meski MUI Pusat pernah bereaksi keras mengenai hal itu. “Terus terang saya tidak setuju dengan reaksi semacam itu. Syukur lingkungan di Jogja bisa menerima,” katanya.

Baginya, ponpes yang dikelola Mariyani inilah yang paling bebas. “Di Surabaya juga ada, tetapi mereka harus pakai pakaian laki-laki kalau mau ibadah. Peraturan semacam itu justru kurang menghargai keberadaan waria,” imbuhnya.
Menurutnya, ibadah waria tidak bisa dilihat dari sisi agama saja, namun juga harus menyertakan perspektif medis, psikologis, dan sosial. “Secara medis mereka mempunyai hormon wanita yang lebih banyak. Ketidakwajaran itu membuat mereka agak tersisih dari masyarakat normal. Tetapi siapa yang mau?Tidak ada yang ingin dilahirkan sebagai waria,” jelasnya.

Bahkan KH Hamrolie menegaskan, Islam pun mengajarkan adanya perspektif yang tidak tunggal dalam memecahkan masalah. “Khalifah Umar bin Khatab pernah melarang hukum potong tangan seorang pencuri, meskipun hal itu ditentang karena tidak sesuai syariat. Sebab setelah diselidiki, pencuri tersebut berasal dari desa yang sedang mengalami paceklik. Di sinilah Umar bersikap bijak dengan menimbang unsur sosial-ekonomi si pencuri. Lalu kenapa waria tidak boleh beribadah?” katanya. (Sony Wibisono-65)

0 Response to "Boleh Ibadah dengan Mukena atau Pakai Sarung dan Peci"