Cermin Ketimpangan Industri Sepak Bola




Berita Utama
08 Februari 2010
Cermin Ketimpangan Industri Sepak Bola
Oleh Drajat Tri Kartono

TANGGAL 23 Januari 2010 sepanjang rel kereta api di Solo berubah menjadi panggung kekerasan. Massa melempari para penumpang yang berjejal di dalam dan di atas KA dengan batu, kayu, dan aneka rupa benda lainnya. Pelemparan ditujukan kepada para bonek, suporter Persebaya yang pulang usai mendukung timnya berlaga di Bandung.

Drama kekerasan massa tersebut merupakan rangkaian aksi anarkisme sehari sebelumnya yang dilakukan oleh para bonek. Mereka yang berangkat menggunakan kereta api ekonomi dari Surabaya ke Bandung, melempari rumah-rumah warga serta menjarah barang-barang milik para pedagang.
Ulah tidak tertib hukum seperti itu pernah dilakukan bonek beberapa kali sebelumnya. Namun kali ini, masyarakat yang merasa menjadi korban melawan saat mereka pulang ke Surabaya. Akibatnya, tak sedikit pendukung Persebaya yang terluka, bahkan ada yang meninggal akibat terjatuh dari KA.

Pertunjukan kekerasan seperti itu menyadarkan kita bahwa ada masalah mendasar dalam industri persepakbolaan. Hal ini harus kita perhitungkan agar tidak terjadi tragedi Heysel saat pertandingan antara Liverpool dan Juventus di Piala Champions 29 Mei 1985 1985, yang menelan 39 korban meninggal dan 600 lainnya luka-luka.

Istilah bonek atau bondho nekat (modal nekat/berani) pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi di Surabaya tahun 1989. Nama resmi pendukung Persebaya bukanlah bonek, melainkan Yayasan Suporter Surabaya (YSS). Namun demikian nama bonek lebih dikenal karena istilah itu menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang dalam jumlah besar dan dengan bekal terbatas nekat pergi ke kota lain untuk mendukung tim pujaannya bertanding (away supporters).

Dalam perkembangannya, ternyata away supporters terlibat kerusuhan dan perkelahian dengan suporter tim lawan. Menilik sejarahnya, kerusuhan oleh bonek tidak saja terjadi di luar Surabaya, tetapi juga di Kota Pahlawan itu.

Salah satunya saat Persebaya bertanding dengan Arema Malang tahun 2006. Saat itu, beberapa mobil dibakar dan rusak. Persebaya pun dihukum tidak boleh bermain selama 1 tahun. Berdasarkan kasus terakhir di Solo, ada sejumlah alasan mengapa bonek menjadi sasaran amuk massa.

Pertama, bonek mencerminkan ketimpangan dalam industri persepakbolaan Tanah Air. Ketika klub sepak bola mampu membayar pemain dan pelatih senilai puluhan hingga ratusan juta rupiah, ternyata pendukung klub yang setia memberi semangat pada timnya sampai ke luar kota, tidak mendapat fasilitas dan perlindungan yang layak sebagaimana diberikan kepada pemain dan pelatih.

Salah satunya fasilitas transportasi. Suasana kereta api ekonomi yang pengap dan padat cenderung menimbulkan kepenatan emosional para penumpangnya. Apalagi, umumnya para pendukung itu bukan termasuk golongan berpunya yang dapat membiayai kebutuhannya sendiri selama perjalanan.

Kedua, fenomena rusuh bonek menjadi pelajaran tentang pentingnya pendidikan bagi suporter dalam sistem persepakbolaan kita. Selama ini modal besar diberikan oleh PSSI maupun klub untuk pendidikan pemain, pelatih, atau wasit. PSSI bahkan tidak segan-segan mengirim mereka belajar ke luar negeri.
Modal itu seharusnya juga dikucurkan untuk pendidikan sikap sportif (sportive life skill) bagi suporter yang sekarang ini pada umumnya telah terorganisasi secara mandiri. Kasus ricuh bonek jelas menunjukkan bahwa kelompok suporter telah mendapat pencitraan buruk.

Pencitraan ini terakumulasi dari tahun ke tahun dan disebarkan melalui berbagai analisis dan pemberitaan. Reaksi amuk masa terhadap bonek ketika pulang ke Surabaya tidak akan terjadi bila bonek telah mampu mengubah citra dirinya menjadi positif. Perubahan hanya dapat terjadi bila ada pendidikan dan intervensi sistematik dalam membangun sportive life skill tersebut.

Rekayasa Pelayanan Publik

Kerusuhan bonek yang baru saja terjadi juga menunjukkan rentannya pelayanan publik terhadap amuk massa. Kerusakan dan kerugian yang dialami PT KA, kepolisian, dan wartawan jelas memperlihatkan bahwa masyarakat belum memiliki kesadaran mendalam tentang nilai penting fasilitas dan pelayanan publik. Hal ini tentu saja harus diantisipasi agar tidak terjadi kerugian negara yang sia-sia.

PT KA sebenarnya memiliki pengalaman beberapa kali menjadi korban kerusuhan suporter sepak bola. Karena itu, instansi itu seharusnya telah mengembangkan strategi khusus (emergency services) ketika kerumunan suporter sudah terjadi. Misalnya, melakukan social spacing atau penciptaan ruang sosial seperti memberangkatkan kereta dengan gerbong pendek agar tidak terjadi pengumpulan massa dalam jumlah besar dan panjang dalam satu rangkaian kereta.

Berkumpulnya massa ini menciptakan psikologi kerumunan (mob) yang cenderung menciptakan identitas yang tidak terorganisasi dengan baik. Pendekatan polisi dengan masuk ke dalam kerumunan massa di kereta, pada dasarnya tidak tepat karena identitas polisi akan melebur dalam identitas massa yang jumlahnya lebih banyak.

Strategi lain dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan kontak masyarakat sepanjang perjalanan. Langkah ini dapat dilakukan misalnya dengan memberangkatkan suporter tidak melalui kereta, tetapi melalui kapal dan dilanjutkan dengan kereta api dalam jarak pendek. Tentu saja hal ini memerlukan pembiayaan yang harus ditanggung secara bersama oleh suporter yang berangkat, tim sepak bola yang didukung, dan bantuan pemerintah daerah serta BUMN.

Pada jajaran kepolisian, wartawan, dan pemerintah daerah, nampak jelas bahwa kasus kerusuhan dalam perjalanan bonek menunjukkan perlunya kemitraan dan kolaborasi penyelenggaraan pelayanan publik antara kedua elemen itu dan organisasi persepakbolaan.

Kolaborasi itu sangat penting agar terjadi kesatuan dalam pelayanan dan penanganan suporter yang melakukan dukungan lintas wilayah (away supporters).
Tentu saja program-program itu perlu menjadi tanggung jawab PSSI, klub sepak bola, pemerintah, serta seluruh penyelenggara pelayanan publik. Langkah ini perlu dilakukan agar kerugian negara dapat dikurangi dan kepuasan masyarakat dalam menikmati pertunjukan olahraga dapat tercapai. (65)

— Penulis adalah ketua Program Studi S2 Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta

0 Response to "Cermin Ketimpangan Industri Sepak Bola"