Disewakan, Jangan Sampai Repotkan Wisatawan


Berita Utama
03 Februari 2010
Program Sarung Batik dan Sandal Karet di Borobudur (2-Habis)
Disewakan, Jangan Sampai Repotkan Wisatawan

KEBANYAKAN wisatawan domestik dan mancanegara mengaku tak keberatan dengan program pemakaian sarung batik bagi yang mengenakan celana pendek dan rok mini, serta pemakaian sandal karet bagi yang mengenakan sepatu atau sandal berhak tinggi berbahan baku besi.

Para wisatawan justru menyukai aturan baru itu, karena dianggap lebih menyatu dengan nuansa tradisional dan etnik. Itu komentar mereka, ketika program itu diujicobakan dan sarung serta sandal itu masih digratiskan. Apakah kesan seperti itu juga masih berlaku ketika pengelola Taman Wisata Candi Borobudur akan memungut uang sewa?

Budayawan Borobudur, Ariswara Sutomo, pesimistis program itu berhasil jika sarung dan sandal mulai disewakan. Dia yakin, wisatawan akan mengeluh dan merasa tak nyaman bila harus mengeluarkan uang sewa.

”Pemakaian sarung batik tidak begitu penting bagi wisatawan yang akan mendaki Candi Borobudur, meski itu dianggap tempat suci. Sebab, ukuran religiusitas dan moral sekarang sudah berbeda,” kata penulis buku Temples of Java itu, kemarin.

Dikatakannya, zaman dahulu masyarakat ketika mendirikan candi mengenakan kemben yang terbuka di bagian dada ke atas. Menurutnya, zaman sudah berubah dan kini yang terbuka bagian bawah.

”Mungkin itu bisa dikatakan lebih santun dan arif, tapi tidak telalu penting. Orang sekarang suka yang simpel dan tidak ribet. Apakah dengan bersarung itu tak terlalu merepotkan wisatawan, apalagi dipungut uang sewa,” kata pengelola Hotel Rajasa itu.

Sedangkan sandal karet, lanjut dia, dari sisi baiknya bisa mengurangi gerusan batu. Tapi dia mempertanyakan, apakah itu bisa diberlakukan menyeluruh bagi setiap pengunjung Borobudur. ”Sekarang dikembalikan lagi kepada para wisatawan. Apakah dengan aturan itu mengganggu atau merasa lebih nyaman,” ujarnya.

Pengadaan sarung batik yang akan memberdayakan masyarakat lokal, menurutnya, sebuah gagasan yang terlalu tinggi. Alasannya, masyarakat Boroudur tak mewarisi ataupun memiliki tradisi membatik. Kalaupun dipaksakan, apakah pemberdayaan masyarakat itu menuai nilai tambah ekonomi?
Kualitas Tinggi

Dia mencontohkan, sekitar tahun 2006 sanggar batik yang didirikan tak berumur panjang, hanya bertahan satu tahun. Sanggar yang berada sekitar 100 meter dari Candi Borobudur itu dilengkapi berbagai peralatan membatik, tapi perajin belum bisa nglorot dan mewarnai sendiri. Untuk hasil yang bagus, proses nglorot dan mewarnai harus dilakukan di Solo.

”Jika dihitung-hitung jelas rugi, karena seluruh rangkaian proses itu tak bisa dilakukan di Borobudur. Otomatis biaya tinggi, lebih praktis membeli batik sudah jadi,” katanya.

Lebih tepat menurutnya, Borobudur sebagai pasar yang membuka seluas-luasnya produk batik Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Lasem, dan Banyumas. Dengan catatan, barang yang dijual adalah batik berkualitas.

Pasar tersebut, lanjut dia, belum digarap maksimal. Pengasong dan pedagang masih banyak yang menjual batik kualitas rendah tapi dijual mahal kepada para wisatawan. ”Wisatawan sudah tahu kualitas batik. Kalaupun mereka membeli, itu karena merasa terganggu pengasong yang sedikit memaksa,” katanya.

Jika ingin menggarap lebih serius pemberdayaan masyarakat dalam memproduksi batik, menurut dia pemerintah dan instansi terkait harus berani mendampingi, melatih, memberikan modal, dan mencarikan pasar. Hal itu memang harus dilakukan, karena belajar dari pengalaman, banyak program yang digulirkan tapi setelah itu dilepas begitu saja dan tak didampingi pengampu program.

Ketua Akademi Magelang Soetrisman mengatakan, kebijakan sarung batik itu tak lepas dari sosok Komisaris Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Ratu Boko, Sudarmono. Sebelum memberlakukan kebijakan itu, dalam beberapa kesempatan dia menyampaikan persoalan tersebut.

”Maha Kitab Borobudur alangkah lebih baik bila dihayati dengan pakaian yang santun. Ini sederhana tapi bisa mengena bagi semua orang,” kata budayawan itu.

Dikatakannya, selain aspek santun itu, juga ada tujuan lain, yakni untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakat lokal dengan produk batik yang bermotif Borobudur. Memang tidak ada tradisi membatik di daerah itu, tapi jika ada niatan dan langkah pemberdayaan, bisa saja dilakukan, hanya saja memakan waktu yang panjang.

”Mungkin nanti sarung batik itu tak hanya dikenakan ketika naik candi dan dikembalikan. Tapi juga satu paket dengan tiket masuk, jadi itu juga sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi wisatawan,” katanya.

Dia berharap, upaya mengangkat potensi batik juga didukung pemerintah dengan memberdayakan sekolah-sekolah untuk mendorong pelatihan membatik. Jadi setidaknya harus dikelola oleh mereka yang sudah profesional di bidang produksi dan desain motif batik.
Patut Didukung

Pendiri Jogja Heritage Society, Dr Laretna T Adishakti menyatakan, kebijakan pengelola Borobudur patut didukung. Pasalnya, selain meminimalkan faktor perusak candi, hal itu terkait dengan keberadaan Borobudur sebagai tempat sakral bagi pemeluk Budha.

Dia pun tidak khawatir kebijakan itu menjadi kontraproduktif terhadap arus kunjungan wisatawan. Namun, memang perlu sosialisasi untuk memberi informasi secara mendalam tentang Borobudur, khususnya dari segi budaya. “Semua orang harus menghormati, karena tiap masyarakat punya hak membuat aturan yang sesuai dengan kepercayaannya. Termasuk wisatawan dari luar yang datang pun harus menghormati aturan itu,” jelas staf pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM itu.

Hanya saja ia menyarankan, pemakaian sarung batik harus sejalan dengan penguatan budaya Indonesia. “Ya kalau pakai sarung batik saya harap batik beneran. Bukan kain cetakan dari pabrik yang bermotif batik. Dengan begitu, batik Indonesia pun bisa ikut diperkenalkan pada wisatawan mancanegara,” ujarnya.

Ia menambahkan, sudah saatnya Borobudur dikelola lebih bijak. Pasalnya Borobudur bukanlah taman wisata, namun taman purbakala yang seharusnya menjadi pusat studi saujana (cultural landscape).

“Borobudur itu bukan wisata hura-hura, melainkan tempat purifikasi kehidupan. Makanya saya kurang sreg, karena saat ini di sana banyak pembangunan tempat yang tujuannya rekreasi atau belanja semata,” terangnya.

Keberadaan museum Borobudur yang diharapkan bisa menjadi penunjang studi pun belum optimal. “Dari segi penataan museum masih kurang, dan banyak informasi terpendam dari Borobudur yang selama ini tidak terungkap,” jelas penerima The Nikkei Asia Prizes tahun 2009 itu.

Seharusnya, menurut dia, informasi tentang saujana Borobudur itulah yang ditonjolkan. Misalnya letak Borobudur yang berada di antara gunung-gunung, hubungan bangunan candi dengan konsep kepercayaan masyarakat zaman itu, dan sebagainya.

“Banyak yang belum tahu jika dulu di sekitar Borobudur ada danau purba. Ini penelitian ilmiah geografi. Sebab, selama ini pengelolaan masih berorientasi pada wisata rekreasi saja,” ujar perintis Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur (Center for Heritage Conservation) itu. (Sholahuddin al-Ahmed, Tuhu Prihantoro, Sony Wibisono-65)

0 Response to "Disewakan, Jangan Sampai Repotkan Wisatawan"