Tersisa Satu, Perajin Sangkar Burung di Bantar


Tersisa Satu, Perajin Sangkar Burung di Bantar
Oleh Yoseph Hary W
TERIK Siang itu, seolah tidak begitu terasa bagi tubuh Sunardi yang hanya berbalut sepotong kaos tipis. Konsentrasinya tertuju pada satu, pekerjaannya, yaitu membuat sangkar burung.

Pria tiga puluhan asal Bantar Desa Kertayasa Kecamatan Mandiraja itu tidak mengelak, menekuni kerajinan sangkar burung hanya sesekali saja. Terhitung, dalam seminggu hanya sekitar 3 - 4 hari dimanfaatkan untuk membuat sangkar burung.

Pasalnya, sangkar burung saat ini tidak lagi bisa menjadi sandaran hidupnya dan keluarganya. Bagaimanapun juga, kebanyakan orang yang berjuang dengan hidup akan memilih pekerjaan yang lebih "basah". Dia pun mengaku lebih rutin membuat "sate bakso", dan memasarkannya keliling desa.

"Ya, itu kenapa sekarang tinggal saya yang mau sesekali mengerjakan sangkar burung di Bantar ini," ungkap suami Waginah itu.

Keputusannya untuk tetap mengerjakan sangkar burung dari bambu bukan tanpa alasan. Sejak awal 2000-an, dia memulai pekerjaan itu, dimodali seorang bernama Wakhir, tetangganya. Terlanjur "nyemplung" pada pekerjaan yang sejatinya adalah hobinya, membuat sangkar burung harus tetap dilanjutkan, meski yang lain menyerah dan memilih pekerjaan lain.

Diceritakannya, awal 2000-an, Wakhir berniat memberdayakan generasi muda yang cenderung malas-malasan dan sering "nongkrong" di pinggir jalan. Sunardi ditunjuk memimpin niat positif itu. Dia mengaku sanggup, hingga akhirnya menarik 8 anak muda di desa itu.

"Pekerjaan berjalan lancar dari hari ke hari. Tapi selang seminggu, semangat anak-anak pun tampak memudar," katanya.

Sayang seribu sayang, Sunardi menyesali kemajuan yang akhirnya harus berakhir dengan cepat. Padahal, kelompok perajin sangkar burung yang dipimpinnya itu tinggal satu-satunya tersisa di Bantar. Satu sisi, dia memahami kondisi sebenarnya. Menurutnya, anak muda pun tahu mana yang lebih besar penghasilannya antara membuat sangkar dan ikut proyek bangunan.

Ya. Dia sepakat dengan alasan itu, merelakan pengikutnya pergi dan bergabung dengan proyek pembangunan di desanya. Rencananya bersama pemuda-pemuda menghasilkan 25 sangkar per bulannya pun urung terwujud. Akibatnya, dia sendirian melanjutkan pekerjaan itu.

Bukan sekedar karena sungkan pada Wakhir yang telah memberi modal, melainkan karena tanggung jawabnya pada diri sendiri untuk mengoptimalkan apa yang ada. Bahkan, menurutnya Wakhir justru menyuruhnya untuk menjual sangkar yang sudah jadi, sekaligus diperbolehkan memiliki uang hasil penjualannya.

Sebab itu, dia bersama istrinya bertekad menekuninya sebagai sampingan. Setidaknya, kerajinan sangkar burung itu bisa dilanjutkan di sela-sela pekerjaan utamanya.

"Tekadnya menyelesaikan 25 sangkar, baru menjualnya nanti. Harus terkumpul dulu karena harganya tidak lebih dari Rp 10 ribu per buah. Syukur-syukur pemerintah memperhatikan perajin sangkar yang tinggal satu ini,"imbuh istrinya, Waginah.

0 Response to "Tersisa Satu, Perajin Sangkar Burung di Bantar"