Memahami dari Hatinya, Bukan Kata-kata

Berita Utama
16 Februari 2010
40 Hari Wafatnya Prof Tjip
Memahami dari Hatinya, Bukan Kata-kata
MENGENANG Prof Satjipto Rahardjo, sang pencetus hukum progresif, tak pernah ada habisnya. Tak hanya pegiat antikorupsi, akademisi, pejuang gender, aktivis mahasiswa, pegiat kerakyatan, dan penganut-penganut hukum progresif yang kehilangan begawan hukum dari Undip itu, namun juga orang-orang terdekat yang selalu menemaninya dalam kegiatan sehari-hari.

Prof Tjip sejak lama memang dikenal sebagai filsuf. Tak banyak kata yang terucap dari bibirnya. Namun satu kalimat yang kerap diucapkan dan selalu diingat oleh staf dan asistennya adalah "Sing ana kuwi dudu".

"Maksudnya, apa yang kita lihat itu sebenarnya bukan yang dimaksud. Tapi di balik itu yang harus dikejar. Kalau kita tidak benar-benar menelaah, tidak akan bisa mengerti maksud ucapan Beliau. Intinya jangan hanya mengejar gelar, pangkat, tapi di balik itu banyak hal yang bisa kita peroleh dan lakukan," kata Prof Dr Esmi Warassih Pujirahayu SH MS, ketua Program S3 Ilmu Hukum Undip.

Menurut Esmi, Prof Tjip adalah sosok ilmuwan dengan kearifan yang jarang dimiliki guru besar atau profesor pada umumnya. Sejak menjadi asisten pria kelahiran Banyumas, 15 Desember 1930 itu pada 1975, Esmi selalu diberi motivasi untuk maju. Dalam mengajak maju seseorang, Prof Tjip tidak pernah memerintah.

Cara yang digunakan untuk memotivasi sangat halus, seperti memberikan buku-buku referensi karyanya atau karya Prof Suryono Sukarto (Universitas Indonesia) untuk dibaca. Setelah itu berdiskusi guna mempertajam wawasan.

"Beliau juga selalu ndhawuhi (menyuruh) saya untuk mengikuti kegiatannya mengisi ceramah, seminar, dan diskusi di mana pun. Dari situ Beliau ingin mengajak saya untuk belajar, karena memang waktu itu saya masih sangat muda dan belum memiliki banyak pengalaman," tutur perempuan kelahiran Solo, 21 Oktober 1951 itu.

Gelar Diskusi

Setiap Sabtu, Prof Tjip memiliki kebiasaan menggelar diskusi dengan tema-tema menarik. Satjipto selalu memberi tugas Esmi untuk mengurusi makalah, jadwal, dan lain-lain.

Dari situlah Esmi memiliki kebiasaan menulis yang sangat membantu proses kenaikan pangkatnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Hanya dalam waktu sembilan tahun, pada 1985 Esmi mencapai golongan IVA dan bisa meneruskan studi doktor di Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya. "Karena seringnya mengikuti diskusi Prof Tjip, maka saya jadi mudah membaca buku dan menulis sehingga cepat lulus," ujar alumnus program Pascasarjana Sosiologi Hukum Universitas Airlangga tahun 1983 itu.

Mantan rektor Universitas Pekalongan itu selalu teringat pesan Prof Tjip yang mengingatkannya untuk tidak menghambat seseorang yang akan naik pangkat, serta terus menuntut ilmu hingga menjadi profesor.

Selama 35 tahun menjadi cantrik Prof Tjip, Esmi mengenal betul tabiat sang guru. Prof Tjip yang dikenal tak banyak kata-kata itu, jarang menunjukkan ekspresi marah atau tidak suka secara gamblang. Akibatnya orang kerap menganggap dia tidak tegas. Jika tidak suka dengan pendapat seseorang, Prof Tjip hanya diam.

"Memahami dia bukan dari kata-katanya, tapi justru dari hati. Seperti hukum progresif yang dia cetuskan, kalau ditelaah lagi banyak kandungan spiritual di dalamnya," tutur Esmi. (J8-65)

0 Response to "Memahami dari Hatinya, Bukan Kata-kata"